Beranjak dari hamparan sajadah 1 meter, berjamaah shubuh dengan
perempuan tercantik yang telah melahirkanku, yang semakin hari termakan
usia. Dengan tak lupa membaca bismillah dalam menjalani hari ini dengan
maksud menjadi hari yang bermanfaat minimal bagi diri sendiri. Ku raih
jaket biru KKP masa kuliah di Semarang dulu, ku masukkan tangan ke dalam
kantong, tersirat senyumku mengembang setelah indra perabaku menyentuh
selembar kertas 1000an. Dalam hati bersyukur kepada Allah sang maha
pemberi rizki telah menaruh uang itu. Seketika imajinasiku terlukis
sebuah makanan tradisional terbuat dari adonan tepung beras. Makanan itu
disebut serabi. Serabi yang dulu merupakan santapan rutin tiap
pagi dengan secangkir kopi, dengan menikmati hijau daun tanaman padi
depan rumah akan menjadi menu breakfast ku hari ini.
Ku duduk
seorang diri dengan bersandingkan secangkir kopi dan serabi. Mata,
hidung, kulit, lidah, telinga, panca indraku yang aku punya, pagi hari
ini sangat membantu dalam menikmati kehidupan pagi hari ini. Kedua
mataku yang sipit hanya sesaat berkedip akan pemandangan pagi ini;
indahnya lingkaran sinar mentari yang menembus gelembung embun di
hijaunya daun-daun tanaman padi, pak tani yang sedang berdiri memeriksa
sawahnya yang sudah keluar biji padi nampak begitu riang. Sedangkan di
jalan selebar 4 meter depan rumah, lalu lalang siswa putih merah, putih
biru , putih abu-abu, berangkat sekolah akan menempuh tahun ajaran
baru dengan serba baru, mulai dari pakaian hingga harapan baru akan
kualitas pendidikan. Beranjak ke indra pencium, hidungku merasakan
sebuah bau yang tak asing lagi….yaitu bau badanku,,,blm mandi setelah
tadi keringetan menyirami tanaman sekeliling rumah. Itu wujud rasa
cintaku kepada makhluk Tuhan, karena aku pernah membaca sebuah hadist:
“barang siapa saying terhadap apa yang ada di bumi, maka yang ada di
bumi akan saying kepadamu.”Dan benar juga,,,banyak jambu-jambu
berjatuhan yang bias disantap.hihihi…
Beranjak ke indra perasa,
angin kemarau di pagi hari begitu menusuk kulit tulangku, terasa berada
di Kopeng, sebuah dataran tinggi di Salatiga, saat mengikuti dan menjadi
panitia Studium General semasa muda dulu. Udara itu begitu dingin dan
dingin yang membuat jaket-jaket tebalku keluar lagi dari markasnya. Di
samping itu juga kalau pagi hari kulit tangan dan
Rasa syukur
berikutnya adalah atas indra pengecapku yang masih bias merasakan
nikmatnya serabi telor dan hitam pahit manisnya secangkir kopi. Makanan
dan minuman itu tak akan bias rasakan nikmatnya kalau kita sariawan. Dan
lidahku pula yang kadang merasakan minuman dan makanan hasil utang di
warung mang Ocon…kesuwun sing akeh pisan kanggo mang Ocon….
Suara
burung centet peliharaan kakakku dan suara ibu menyuruh aku
bersih-bersih rumah menjadi rutinitas keberfungsian indra pendengarku
tiap pagi. Namun , semua itu bagiku adalah indah sebagai harimoni dan
ritme kehidupan. Begitulah hidup, yang kata Sadeq Hedayat, hidup adalah campuran keindahan yang pahit dan kesedihan yang manis.
Ku
tengok ke pintu warung, tampak mang Ocon sedang sibuk membuka warungnya
berharap mendapat rejeki banyak di pagi hari. Orang tua mengatakan yang
bangun pagi-pagi akan dapat rejeki banyak. Terbukti dengan aku bangun
pagi dapat rejeki Serabi dari Tuhan. Tuhan telah mengirimkannya
lewat bi Umenah yang sudah sedari aku belum lahir sudah berjualan kue
itu di waktu keheningan subuh kala orang-orang masih bermanja dengan
selimut.
“Chad, gawe tulisan tentang warung mang Ocon maning
si…ambir laris kih warunge kita (baca: Chad, bikin tulisan tentang
warung mang Ocon lagi dong biar warungku laris)” celoteh mang Ocon
sembari menata barang dagangannya. “Ciap bos….enteni bae, insyaAllah
sedurunge ramadhan wis terbit” jawabku dengan optimis bisa menulis lagi.
Dan itu menjadi salah satu inspirasi atas tulisan ini.
By
Ochad, PRT
26072011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar