ONO SARWONO
|
PEMILIHAN presiden-wakil presiden usai. Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf
Kalla (JK), berdasarkan quick count mayoritas lembaga hitung cepat
kredibel, unggul atas pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.Bila real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diumumkan lusa (22/7) sama atau hampir sama dengan hitung cepat, Jokowi-JK menjadi presiden dan wakil presiden baru Indonesia. Pertanyaannya kini, apa yang mesti dilakukan pemimpin setelah mandat rakyat berada di pundaknya? Jika konsisten dengan janjinya, setelah resmi dilantik, tentunya mereka akan segera melaksanakan apa-apa yang telah terucap ketika berkampanye.
Penyakit umum yang sering menyerang kebatinan elite di negeri ini, entah itu memang sengaja atau tidak, adalah gampang alpa akan janji. Namun, kita semua berharap pemimpin baru kali ini imun. Jangan sampai rakyat bertindak untuk menagih. Pemimpin tulen, sebelum itu terjadi, mesti sudah melangkah karena pada hakikatnya janji itu bukan untuk orang lain, melainkan bagi dirinya sendiri.
Rakyat hanya bisa niteni (mencatat) sejauh mana tingkat dan kualitas integritas pemimpin. Bila sejati, tentu antara ati, lati, lan pakarti nyawiji. Artinya antara hati, yang diucapkan, dan tindakan selalu selaras. Maknanya, pemimpin tidak pernah lari dari apa yang ia sampaikan ke publik.
Dalam kearifan lokal kita, ada ajaran luhur sabda pandhita ratu tan kena wola wali. Artinya, seorang pemimpin itu tidak boleh mencla-mencle atau esuk tempe sore dhele. Istilah lainnya, tidak pernah cidra ing janji (mengingkari janji) walaupun untuk melaksanakannya kadang begitu berat rintangan dan sandungannya.
Masih ada petuah lain yang sepadan, pemimpin itu juga mesti berbudi bawalaksana. Berbudi adalah budi yang luber, artinya bermurah hati.
Bawalaksana berasal dari dua kata, bawa dan laksana. Bawa dari kata sabawa yang artinya berkata, sedangkan laksana dari kata lumaksana yang mengandung makna berjalan atau terlaksana.
Jadi, arti bebasnya, yang dikatakan terlaksana.
Bersumpah Dalam cerita wayang, ada contoh ekstrem tentang yang terucapkan benarbenar terlaksana.
Padahal, itu sangat tidak masuk akal. Itu karena kesatria yang melakukan memaknai bahwa kata yang telah diucapkan bukan sekadar janji, melainkan sumpah.
Dikisahkan, Raja Atasangin, Baratwaja, memanggil anak sulungnya, Bambang Kumbayana. Sang ayah meminta Kumbayana segera mencari pendamping karena tidak lama lagi akan diwisuda sebagai raja. Baratwaja bermaksud pensiun (turun takhta) dan ingin menajamkan laku prihatin guna menggayuh memanise pati.
Di luar dugaan, Kumbayana menolak desakan sang ayah. Ia malah berujar, dirinya tidak akan menikah bila tidak dengan bethari dari Kahyangan.
Setelah mendengar jawaban kementhus itu, Baratwaja marah. Ia menilai anaknya sudah melanggar angger-angger jagat.
Tidak sepantasnya titah sawantah, titah biasa, beristri bethari.
Sebelumnya, Baratwaja selalu memahami perilaku dan ucapan anaknya yang sejak kecil memang nakal. Namun, dengan keinginannya itu berarti ia jelas-jelas menampik perintah orangtua.
Karenanya, Baratwaja yang biasanya mampu mengendalikan emosi kali ini kehilangan kesabaran. Baratwaja mengusir Kumbayana dari istana.
Kumbayana tidak takut dengan sikap keras ayahnya. Ia kemudian meninggalkan istana tanpa pamit. Padahal, ketika itu ia belum memiliki tempat untuk dituju.
Sampailah ia di tengah hutan. Ketika sedang teperkur di bawah pohon maja, ia ingat saudara angkatnya, Sucitra. Menurut kabar, Sucitra telah menjadi raja di Pancala.
Maka, tidak berpikir panjang, Kumbayana ingin segera menemuinya.
Ia berjalan ke arah utara yang ia yakini sebagai wilayah Negara Pancala. Namun untuk sampai ke sana, Kumbayana terhalang lautan luas. Ia kebingungan bagaimana cara menaklukkannya.
Bethari Wilutama Ketika akalnya buntu, Kumbayana kemudian berjanji, “Siapa pun yang bisa menyeberangkan saya, bila ia laki-laki, akan saya jadikan saudara dekat. Bila perempuan, akan saya nikahi.“ Janji Kumbayana terdengar sampai Kahyangan Jonggring Saloka.
Maka, tidak lama kemudian, datanglah seekor kuda betina berbulu bersih dan mulus. Kuda itu lantas mendekati Kumbayana. Serta-merta, putra mahkota Atasangin itu bersiap diri jika kuda itu menyerangnya.
Akan tetapi, ternyata kuda tersebut lulut, bersahabat. Sambil menganggukanggukkan kepala dan mengibas-ibaskan ekornya, kuda itu berusaha menempel Kumbayana. Pada awalnya Kumbayana tidak mengerti pesan yang disampaikan. Tetapi setelah sejenak berpikir, akhirnya ia tahu bahwa kuda itulah yang akan menyeberangkannya. Kumbayana lantas melompat ke punggung kuda dan sejurus kemudian terbanglah mereka.
Singkat cerita, sampailah Kumbayana di tanah seberang. Namun setelah ia mengucapkan kata terima kasih, kuda itu menghalangi langkahnya. Itu terjadi berulang kali hingga akhirnya Kumbayana ingat akan janjinya.
Sungguh di luar nalar. Dikisahkan, Kumbayana akhirnya menikahi kuda tersebut hingga akhirnya bunting dan melahirkan anak. Anak laki-laki itu diberi nama Bambang Aswatama. Setelah itu, kuda berubah ke asal muasalnya, bidadari elite Kahyangan bernama Bethari Wilutama.
Betapa kagetnya Kumbayana. Ia tidak tahu bahwa kuda itu ternyata perwujudan bethari, yang selama ini ia cita-citakan untuk menjadi istrinya. Namun, ia kecewa karena Wilutama tidak bisa hidup bersamanya di arcapada dan harus kembali ke Kahyangan.
Dewa telah menguji keteguhan Kumbayana memegang janji. Ternyata, Kumbayana benar-benar melaksanakan apa yang telah diucapkan. Padahal, sungguh itu tidak masuk nalar.
Kisah Kumbayana itu hanyalah simbol belaka bahwa kesatria harus kukuh akan janjinya walau begitu sulit halangan dan rintangan. Siapa pun yang menepati janji, pada akhirnya akan datang berkah.
Inilah nilai yang perlu diteladani dari Kumbayana, terutama bagi pemimpin.
(M-3)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar