Laman

Sabtu, 26 Juli 2014

Idul Fitri dan Integritas Antikorupsi Sukron Kamil Guru besar UIN Jakarta Direktur Pusat Studi Indonesia dan Arab

SALAH satu isu yang kini menjadi perhatian pub lik yang harus menjadi agenda utama presiden terpilih dalam Pilpres 2014 ini ialah integritas. Asumsi tersebut bisa dilihat antara lain dari Peraturan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) Nomor 60 Tahun 2012 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) di Lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, integritas tampaknya bisa diharapkan untuk menjadi solusi dari kurang efektifnya pemberantasan korupsi selama ini, mengingat kini korupsi cenderung `mati satu tumbuh seribu'. Pendapat Prof Taverne agaknya membenarkan hal itu. Ia pernah berujar, “Berikan saya hakim dan jaksa yang baik, maka dengan undang-undang yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik.“
Baginya, kesemuanya, termasuk UU yang baik pun, pada akhirnya bergantung pada berintegritas atau tidaknya manusia, the man behind the gun.
Tentang integritas Dari berbagai literatur yang bisa dibaca, integritas bisa diukur dengan: 1) Keterikatan pada nilai-nilai perenial dan/kode etik organisasi, terutama pada kejujuran dan akuntabilitas (tidak korupsi), 2) Adanya sikap konsisten dalam melaksanakannya meski berisiko untuk dirinya atau keluarga karena didasari oleh ketulusan dalam menjalankan, 3) Tidak adanya kepribadian terbelah sehingga hati, kata, dan perbuatannya sama berkomitmen dan konsisten dengan nilai/kode etik, baik di ruang privat maupun publik, 4) Sikap yang komitmen dan konsisten terhadap nilai/kode etik itu ditegakkan di lingkungan kerja dan tempat tinggalnya, baik kepada sesama/teman yang sederajat maupun atasan (orang yang mempunyai kekuasaan), baik dengan teguran maupun tindakan nyata lainnya.
Dalam konteks korupsi, integritas berarti menghindari perbuatan bentuk korupsi apa pun, baik suap, penggelapan/ penggelembungan, pemerasan, nepotisme, kolusi, maupun hadiah (gratifikasi) yang dibarengi dengan menegakkan prinsip-prinsip antikorupsi, yaitu akuntabilitas, transparansi, keadilan, meritokrasi, kebijakan antikorupsi, dan kontrol kebijakan.
Idul Fitri dan integritas Kata `id dalam Idul Fitri yang berasal dari bahasa Arab terambil dari kata `âda-ya'ûdu, suatu kata yang sama artinya dengan kata tobat, yakni kembali. Hanya, jika tobat berarti kembalinya seseorang kepada Tuhannya, `id adalah kembali ke tempat atau pada keadaan semula. Artinya, sesuatu yang pada mulanya berada pada suatu keadaan, tetapi kemudian meninggalkannya, lalu kembali seperti semula. Dengan demikian, Idul Fitri bermakna kembali kepada fithr/fitrah (asal kejadian atau kesucian).
Dalam Alquran, asal kejadian atau fitrah manusia terbebas dari dosa, suci, dan berkecenderungan pada kebenaran. Namun, perjalanan dan hiruk pikuk kehidupannya acap kali membuat manusia tidak lagi demikian, melainkan penuh dosa dan tidak lagi suci karena terlalu mengikuti bisikan nafsunya. Idul Fitri menandai keberhasilan kaum muslimin dalam menambah kekuatan baterai rohaninya sehingga diharapkan bisa memanage/memimpin jasad/nafsunya, bukan sebaliknya.
Idul Fitri menunjukkan bahwa nafsu makan, minum, dan seks serta kesenangan jasmaniah lainnya ternyata bisa dikendalikan meski tuntutan jasmaniah acap kali kuat, bahkan sebagian manusia telah menjadikannya sebagai `tuhan'. Sebagian mereka, karenanya, telah menjadi budak nafsunya sendiri, jauh dari integritas, meski kadang tidak disadari. Dengan dipertajamnya rohani/nurani selama sebulan, dalam 11 bulan pasca-Idul Fitri manusia diharapkan mampu hidup mengikuti tuntutan nurani (dhamîr/fitrah manusia) yang selalu mengajak pada kesucian dan ketaatan ketika nurani menjadi pusat bagi dirinya.
Karena itu, Idul Fitri bisa diartikan menandai lahirnya manu sia-manusia muslim berintegritas yang dalam bahasa Alquran, manusia-manusia yang memiliki karakter takwa, seperti tercantum dalam QS al-Baqarah/2: 183.
Hal itu disebabkan lewat puasa selama sebulan penuh sebelum Idul Fitri, seorang manusia muslim berarti telah melakukan kontrak dengan Allah paling tidak 29/30 kali. Ia tidak akan makan, minum, dan me lakukan kegiatan seks se harian, tiga hal yang diha lal kan Allah di luar siang hari pada bulan Ramadan, kendati tidak ada orang lain yang melihatnya.
Ia berarti telah menjadi seseorang, yang dalam hadis Nabi disebut berkarakter ihsan, padanan takwa, merasa diawasi Allah, sehingga tindakannya dalam bekerja atau kehidupan lainnya sesuai dengan nilainilai ketuhanan. Lewat puasa yang dilakukan secara konsisten selama sebulan sebelum Idul Fitri, manusia muslim ditempa agar menjadi manusia yang bisa memiliki kepekaan dalam mendengar suara nurani dan rohaniah (nilai-nilai ketuhanan) dirinya. Ringkasnya menjadi seorang berintegritas seperti penjelasan di atas sehingga tidak menjadi manusia yang perilakunya seperti binatang yang tidak bermoral.
Idul Fitri menandai lahirnya manusia baru yang memiliki penghayatan yang sedalamdalamnya dan kesadaran yang setinggi-tingginya terhadap kehadiran Tuhan dalam hidup, dengan nilai puasa yang dilakukan selama sebulan sebelum Idul Fitri diukur oleh pencapaian kesadaran tersebut, bukan dari sisi lapar saja. Puasa bermaknakan kejujuran, satunya hati, kata, dan perbuatan, karena puasa mem bimbing manusia agar jujur kepada Al lah, dirinya sendiri, dan orang lain, siapa pun juga, ukuran utama integritas.
Dengan begitu, seorang yang berpuasa diharapkan tidak berdusta dan berkhianat (melakukan tindak penyelewengan terhadap jabatan misalnya). Tanpa itu, puasanya tidak sah dan tidak bermakna sebagaimana hadis Nabi riwayat Bukhari.
Sabda Nabi, “Barang siapa tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dosa (buruk), Allah tidak membutuhkan (puasa)nya di mana ia meninggalkan makan dan minum.“ Puasa dan Idul Fitri dalam hal ini menekankan tidak adanya kepribadian terbelah sehingga hati, kata, dan perbuatannya sama berkomitmen dan konsisten terikat oleh nilai-nilai, terutama kejujuran dan akuntabilitas, baik di ruang privat maupun publik.
Selain itu, puasa dan Idul Fitri menekankan sikap konsisten dalam melaksanakan atau terikat nilai-nilai meski berisiko untuk dirinya atau keluarga, karena didasari oleh ketulusan dalam menjalankan. Alasannya, karena puasa yang pada hari Idul Fitri berakhir sesungguhnya berisiko membuat sakit badan, terutama perut karena harus menahan lapar dan haus seharian di siang hari selama Ramadan. Ini berarti, kesulitan hidup karena menegakkan integritas dalam perspektif puasa dan Idul Fitri harus dipandang positif, mengingat antara kesuksesan dan penderitaan merupakan setali mata uang.
Tidak ada kesuksesan tanpa pengorbanan, penderitaan, dan penyangkalan atas berbagai kenikmatan. Namun, kesulitan badan dalam me negakkan integritas, seba gaimana sakitnya perut da lam berpuasa, menjadi tidak berarti jika tidak diawali dan disertai tekad sebagaimana puasa yang diawali dan disertai niat yang kuat. Niat yang kuat atau political will dalam menegakkan kebenaran seperti prinsip-prinsip antikorupsi memudahkan hati dalam menjalani proses-proses sulit dan berisiko untuk diri sendiri dan keluarga yang harus dijalani.
Sebagaimana puasa yang berakhir dengan magrib dan Idul Fitri, kesulitan/penderitaan dalam menegakkan integritas pasti pada saatnya berakhir manis, sebagaimana manisnya buka dan Idul Fitri, baik secara rohani maupun jasmani. Itu berarti juga integritas bukan saja kunci kesuksesan dan kebahagiaan hidup di akhirat saja, melainkan terutama di dunia, sebagaimana kenikmatan dunia/jasmaniah saat buka puasa dan Idul Fitri. Sabda Nabi dalam suatu hadis, “Baik dalam bakat adalah keuntungan, sedang buruk akhlak (tidak berintegritas) adalah kemalangan (sial).“ Dalam bisnis umpamanya, boleh jadi orang yang melakukannya dengan cara tidak berintegritas seperti tidak jujur akan beruntung, tetapi itu tidak akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Hal itu disebabkan para customer akan jera dengan kecurangannya dan itu berarti tergoda oleh keuntungan jangka pendek sebagai daya tarik dosa dan juga tidak bervisi masa depan. Berdasarkan penjelasan ini, teori integritas David Hume (17111776 M) dan Jeremy Bentham (1748-1832 M) tidak sepenuhnya bertentangan dengan Islam (puasa dan Idul Fitri). Teori itu melihat ukuran perbuatan baik (berintegritas) atau tidak adalah kebahagiaan atau penderitaan yang diakibatkannya.
Terakhir, puasa sebagai perilaku kolektif, ketika dalam sahur ada yang mengingatkan dan kebersamaan sebagaimana saat buka serta dalam puasa dan Idul Fitri ada keharusan zakat fitrah dan integritas (ketakwaan sebagai tujuan puasa dan Idul Fitri), tidak akan berhasil jika tidak menjadi perilaku kolektif.
Puasa dan Idul Fitri, karenanya, menekankan komitmen dan konsistensi terhadap nilai/kode etik yang harus ditegakkan di lingkungan kerja dan tempat tinggal, baik kepada sesama/ teman yang sederajat maupun atasan (orang yang mempunyai kekuasaan), baik dengan teguran maupun tindakan nyata lainnya.
Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar