SALAH satu isu yang kini menjadi perhatian pub lik yang
harus menjadi agenda utama presiden terpilih dalam Pilpres
2014 ini ialah integritas. Asumsi tersebut bisa dilihat antara lain dari
Peraturan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (PAN dan RB) Nomor 60 Tahun 2012 tentang Pedoman Pembangunan
Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah
Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) di Lingkungan Kementerian/Lembaga
dan Pemerintah Daerah.
Dalam konteks pemberantasan korupsi,
integritas tampaknya bisa diharapkan untuk menjadi solusi dari kurang
efektifnya pemberantasan korupsi selama ini, mengingat kini korupsi
cenderung `mati satu tumbuh seribu'. Pendapat Prof Taverne agaknya
membenarkan hal itu. Ia pernah berujar, “Berikan saya hakim dan jaksa
yang baik, maka dengan undang-undang yang buruk pun saya bisa membuat
putusan yang baik.“
Baginya, kesemuanya, termasuk UU yang baik
pun, pada akhirnya bergantung pada berintegritas atau tidaknya manusia,
the man behind the gun.
Tentang integritas Dari berbagai literatur
yang bisa dibaca, integritas bisa diukur dengan: 1) Keterikatan pada
nilai-nilai perenial dan/kode etik organisasi, terutama pada kejujuran
dan akuntabilitas (tidak korupsi), 2) Adanya sikap konsisten dalam
melaksanakannya meski berisiko untuk dirinya atau keluarga karena
didasari oleh ketulusan dalam menjalankan, 3) Tidak adanya
kepribadian terbelah sehingga hati, kata, dan perbuatannya sama
berkomitmen dan konsisten dengan nilai/kode etik, baik di ruang privat
maupun publik, 4) Sikap yang komitmen dan konsisten terhadap nilai/kode
etik itu ditegakkan di lingkungan kerja dan tempat tinggalnya, baik
kepada sesama/teman yang sederajat maupun atasan (orang yang mempunyai
kekuasaan), baik dengan teguran maupun tindakan nyata lainnya.
Dalam konteks korupsi, integritas berarti menghindari perbuatan bentuk
korupsi apa pun, baik suap, penggelapan/ penggelembungan, pemerasan,
nepotisme, kolusi, maupun hadiah (gratifikasi) yang dibarengi dengan
menegakkan prinsip-prinsip antikorupsi, yaitu akuntabilitas,
transparansi, keadilan, meritokrasi, kebijakan antikorupsi, dan kontrol
kebijakan.
Idul Fitri dan integritas Kata `id dalam Idul Fitri
yang berasal dari bahasa Arab terambil dari kata `âda-ya'ûdu, suatu kata
yang sama artinya dengan kata tobat, yakni kembali. Hanya, jika tobat
berarti kembalinya seseorang kepada Tuhannya, `id adalah kembali ke
tempat atau pada keadaan semula. Artinya, sesuatu yang pada mulanya
berada pada suatu keadaan, tetapi kemudian meninggalkannya, lalu kembali
seperti semula. Dengan demikian, Idul Fitri bermakna kembali kepada
fithr/fitrah (asal kejadian atau kesucian).
Dalam Alquran, asal
kejadian atau fitrah manusia terbebas dari dosa, suci, dan
berkecenderungan pada kebenaran. Namun, perjalanan dan hiruk
pikuk kehidupannya acap kali membuat manusia tidak lagi demikian,
melainkan penuh dosa dan tidak lagi suci karena terlalu mengikuti
bisikan nafsunya. Idul Fitri menandai keberhasilan kaum muslimin dalam
menambah kekuatan baterai rohaninya sehingga diharapkan bisa
memanage/memimpin jasad/nafsunya, bukan sebaliknya.
Idul Fitri
menunjukkan bahwa nafsu makan, minum, dan seks
serta kesenangan jasmaniah
lainnya ternyata bisa dikendalikan meski tuntutan jasmaniah acap kali
kuat, bahkan sebagian manusia telah menjadikannya sebagai `tuhan'.
Sebagian mereka, karenanya, telah menjadi budak nafsunya sendiri, jauh
dari integritas, meski kadang tidak disadari. Dengan dipertajamnya
rohani/nurani selama sebulan, dalam 11 bulan pasca-Idul Fitri manusia
diharapkan mampu hidup mengikuti tuntutan nurani (dhamîr/fitrah manusia)
yang selalu mengajak pada kesucian dan ketaatan ketika nurani menjadi
pusat bagi dirinya.
Karena itu, Idul Fitri bisa diartikan
menandai lahirnya manu
sia-manusia muslim berintegritas yang dalam bahasa Alquran,
manusia-manusia yang memiliki karakter takwa, seperti tercantum dalam QS
al-Baqarah/2: 183.
Hal itu disebabkan lewat puasa selama sebulan
penuh sebelum Idul Fitri, seorang manusia muslim berarti telah melakukan
kontrak dengan Allah paling tidak 29/30 kali. Ia tidak akan makan,
minum, dan me
lakukan kegiatan
seks se harian,
tiga hal yang diha
lal kan
Allah di luar siang hari pada bulan Ramadan, kendati tidak ada orang
lain yang melihatnya.
Ia berarti telah menjadi seseorang, yang
dalam hadis Nabi disebut berkarakter ihsan, padanan takwa, merasa
diawasi Allah, sehingga tindakannya dalam bekerja atau kehidupan lainnya
sesuai dengan nilainilai ketuhanan. Lewat puasa yang dilakukan secara
konsisten selama sebulan sebelum Idul Fitri, manusia muslim ditempa agar
menjadi manusia yang bisa memiliki kepekaan dalam
mendengar suara nurani dan rohaniah (nilai-nilai ketuhanan) dirinya.
Ringkasnya menjadi seorang berintegritas seperti penjelasan di atas
sehingga tidak menjadi manusia yang perilakunya seperti binatang yang
tidak bermoral.
Idul Fitri menandai lahirnya manusia baru yang
memiliki penghayatan yang sedalamdalamnya dan kesadaran yang
setinggi-tingginya terhadap kehadiran Tuhan dalam hidup, dengan nilai
puasa yang dilakukan selama sebulan sebelum Idul Fitri diukur oleh
pencapaian kesadaran tersebut, bukan dari sisi lapar saja. Puasa
bermaknakan kejujuran, satunya hati, kata, dan perbuatan, karena puasa
mem bimbing manusia agar jujur kepada Al
lah, dirinya sendiri, dan orang lain, siapa pun juga, ukuran utama
integritas.
Dengan begitu, seorang yang berpuasa diharapkan
tidak berdusta dan berkhianat (melakukan tindak penyelewengan terhadap
jabatan misalnya). Tanpa itu, puasanya tidak sah dan tidak bermakna
sebagaimana hadis Nabi riwayat Bukhari.
Sabda Nabi, “Barang siapa
tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dosa (buruk), Allah tidak
membutuhkan (puasa)nya di mana ia meninggalkan makan dan minum.“ Puasa
dan
Idul Fitri dalam hal ini menekankan tidak adanya kepribadian terbelah
sehingga hati, kata, dan perbuatannya sama berkomitmen dan konsisten
terikat oleh nilai-nilai, terutama kejujuran dan akuntabilitas, baik di
ruang privat maupun publik.
Selain itu, puasa dan Idul Fitri
menekankan sikap konsisten dalam melaksanakan atau terikat nilai-nilai
meski berisiko untuk dirinya atau keluarga, karena didasari oleh
ketulusan dalam menjalankan. Alasannya, karena puasa yang pada hari Idul
Fitri berakhir sesungguhnya berisiko membuat sakit badan, terutama
perut karena harus menahan lapar dan haus seharian di siang hari selama
Ramadan. Ini berarti, kesulitan hidup karena menegakkan integritas dalam
perspektif puasa dan Idul Fitri harus dipandang positif, mengingat
antara kesuksesan dan penderitaan merupakan setali mata uang.
Tidak ada kesuksesan tanpa pengorbanan, penderitaan, dan penyangkalan
atas berbagai kenikmatan. Namun, kesulitan badan dalam me negakkan
integritas, seba gaimana sakitnya perut da lam berpuasa, menjadi tidak
berarti jika tidak diawali dan disertai tekad sebagaimana puasa yang
diawali dan disertai niat yang kuat. Niat yang kuat atau political will
dalam menegakkan kebenaran seperti prinsip-prinsip antikorupsi
memudahkan hati dalam menjalani proses-proses sulit dan berisiko untuk
diri sendiri dan keluarga yang harus dijalani.
Sebagaimana puasa yang
berakhir dengan magrib dan Idul Fitri, kesulitan/penderitaan dalam
menegakkan integritas pasti pada saatnya berakhir manis, sebagaimana
manisnya buka dan Idul Fitri, baik secara rohani maupun jasmani.
Itu berarti juga integritas bukan saja kunci kesuksesan dan kebahagiaan
hidup di akhirat saja, melainkan terutama di dunia, sebagaimana
kenikmatan dunia/jasmaniah saat buka puasa dan Idul Fitri. Sabda Nabi
dalam suatu hadis, “Baik dalam bakat adalah keuntungan, sedang buruk
akhlak (tidak berintegritas) adalah kemalangan (sial).“ Dalam bisnis
umpamanya, boleh jadi orang yang melakukannya dengan cara tidak
berintegritas seperti tidak jujur akan beruntung, tetapi itu tidak akan
berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Hal itu disebabkan
para customer akan jera dengan kecurangannya dan itu berarti tergoda
oleh keuntungan jangka pendek sebagai daya tarik dosa dan juga tidak
bervisi masa depan. Berdasarkan penjelasan ini, teori integritas David
Hume (17111776 M) dan Jeremy Bentham (1748-1832 M) tidak sepenuhnya
bertentangan dengan Islam (puasa dan Idul Fitri). Teori itu melihat
ukuran perbuatan baik (berintegritas) atau tidak adalah kebahagiaan atau
penderitaan yang diakibatkannya.
Terakhir, puasa sebagai
perilaku kolektif, ketika dalam sahur ada yang mengingatkan dan
kebersamaan sebagaimana saat buka serta dalam puasa dan Idul Fitri ada
keharusan zakat fitrah dan integritas (ketakwaan sebagai tujuan puasa
dan Idul Fitri), tidak akan berhasil jika tidak menjadi perilaku
kolektif.
Puasa dan Idul Fitri, karenanya, menekankan komitmen dan
konsistensi terhadap nilai/kode etik yang harus ditegakkan di lingkungan
kerja dan tempat tinggal, baik kepada sesama/ teman yang sederajat
maupun atasan (orang yang mempunyai kekuasaan), baik dengan teguran
maupun tindakan nyata lainnya.
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar