Laman

Selasa, 22 Juli 2014

Menjadi Plato Ndeso, Seri 2

Percakapan antara kang Ochad dan Boled terputus sesaat setelah tau hidangan prasmanan di Bumi Tuhan telah siap.
“Led, hayukk kita ke pemadam kelaparan dulu!!!. Tuh udh siap.”
“pemadam kelaparan....??? ana-ana bae kang Ochad tuh. Pake istilah pemadam kelaparan segala, begitulah kalo orang pintar tuh, kadang bahasanya ngawur, tapi ngawur karena benar kali yah, beda dengan aku ini, ngawur karena salah.” Boled menggurutu dalam kalbu.
            “kang Ochad makan disini juga kan?” tanya bu Sutiah, yang biasa mengantar breakfast dan lunch di sawah.
            “iyya bu, lama aku tak makan beratapkan langit seperti ini.”
            “makanya atuh,,kang Ochad sering pulang ke desa, kang ada yang bikin kang Ochad nyaman yah di Solo?” rasa kepo bu Sutiah keluar.
            “hihihi....bu Sutiah ini really something (ada-ada ajjjja), ya gitu deh bu......”
            Lunch ala jawa jam 9 pun selesai, kang Boled pun telah lenyap entah kemana. Sedangkan kang Ochad kembali ke sarangnya, gubuk kecil di tengah kolong langit. Kang Ochad pun mulai kontemplasi lagi dengan tatapan setengah isi setengah kosong, seperti mahasiswa saat di kelas, separuh jiwa di dalam separuh pikiran melayang memikirkan sesuatu atau seseorang yang belum tentu juga dia memikirkan. Hayoooo loooooo, hihihihihi.
            “kang Ochad!!!!” teriakan Nina dari jauh menghampiri kang Ochad.
            Nina adalah tetangga sekaligus saudara kang Ochad. Dia sekarang kelas 1 SMA dan ingin melanjutkan kuliah. Tingkat pertama, Nina sekolah di SLTP N 1 Arjawinangun dan Pesantren juga, bekas almamater kang Ochad. Sayangnya dia tidak melanjutkan ke pesantren lagi. Tetapi dia masih punya semangat yang berkoar-koar,,,,ups, salah, berkobar-kobar.
            “ada apa Na?, what’s up sis” kang Ochad sering ngomong inggris ma Nina, karena Nina tergolong anak yang pintar, seharusnya dia juga masuk kelas khusus, tetapi karena ada biaya khsusu juga, sehingga dia tidak berminat.
            “aku abis dimarahin Emak (baca Ibu), kemarin pulang telat.”
            “Oalah, biasa,,,anak remaja, itu tanda sayang emaknya Nina.”
            “Tapi kang.....”
            “Nina, seorang ibu marah tuh sebenarnya tersirat filosofis yang dalam bgt, melibatkab 3 dimensi waktu. 3 dimensi yang di maksud adalah dulu, saat ini dan masa depan. Ibu kita kan kalo marah pasti ngomong seperti ini; ne anak sekarang aja udah nakal kaya gini, kalau udah besar nanti jadi apa, coba liat tuh kakek nenekmu dulu orang baik-baik.
Saya jelaskan yah....per kalimat
Kalimat 1: ne anak sekarang aja udh nakal kaya gini ( masa sekarang)
Kalimat 2: kalau udah besar mw jadi apa (masa depan)
Kalimat 3: coba liat tuh kakek nenekmu dulu orang baek-baek (masa lalu)
            Begono Nina,,,jadi kita tuh hidup tidak lepas dari 3 dimensi waktu.”
            “Oalah,,,kang Ochad kok luwes bgt yah,,,,makaci kang, kang Ochad makin unyu-unyu ada deh.”
            “iyya, kalo ujan pematang sawah jadi unyu”
            “pisau mana pisau......itu lunyu kang!!!!” dengan ekspresi muka Nina yang unyu.
            Nina, gadis mungil 4 tahun yang lalu pun sirna dari sarang kang Ochad. Hanya tersisa kang Ochad seorang dengan berbagai rasa yang terlukiskan oleh semesta. Kang Ochad membiarkan tubuh BOLA (bodi langsing)nya terbaring beralaskan hamparan tanah syurga manusia, petani khususnya. Kang Ochad memejamkan mata dan berbisik kepada alam,
“bersama kamu, segalanya terasa dekat, segala sesuatunya terasa indah, IBU”

The End
Selamat hari Ibu!
Salam Luwes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar