Mungkin terasa begitu aneh,
ketika anda membaca judul tulisan saya yang amburadul ini. Jangankan
tulisan di dalamnya, dari judujnya aja menurut EYD (baca: Ejaan Yang
Diplesetkan) memang betul. Kata sepotong dalam pelajaran Bahasa
Indonesia pada waktu SMP yang gurunya gaul abis, berfungsi sebagai kata
penentu bilangan yang biasanya bergandengan tangan dengan benda-benda
yang bisa dipotong, seperti kayu, batang, dahan, dan juga daging, asal
jangan daging manusia aja deh.
Ngemeng-ngemeng daging ini, sengaja penulis mengutip judul sepotong Syurga karena berkaitan dengan penyembelihan hewan ternak atau dalam orang Islam disebut dengan Qurban. Semua orang Islam tau bahwa sehari setelah para jemaah haji menjelankan rukun haji yaitu wuquf arofah , umat muslim di seluruh dunia, hanya yang islam KTP aja yang tidak tau mungkin bhwa besoknya adalah “yaumunnahri” hari makan sepuasnya dan selama hari tasyrik diharamkan berpuasa.
Idul adha atau hari raya qurban memiliki kajian ilmu yang tinggi secara tersirat maupun tersurat, memiliki makna imlplisit dan eksplisit (yang belum tau baca kamu bahasa jawa keraton). Salah satu hikmahnya adalah mendidik untuk bersyukur kepada Allah SWT. Lebih jelas dijabarkan oleh Prof Dr Asep S Muhtadi dalam Koran harian Islam Republika, bahwa dalam perspektif surah al-Kautsar, kurban merupakan salah satu ekspresi syukur. Seperti diisyaratkan ayat kedua surah tersebut, kurban disejajarkan dengan shalat yang dilakukan untuk mewujudkan rasa terima kasih manusia kepada Allah atas segala pemberian nikmat-Nya yang besar tak terhingga. Praktik kurban juga secara tersirat memperlihatkan sebuah pengorbanan sebagai ikrar pengabdian kepada-Nya. Sedangkan secara syariat, kurban itu diwujudkan dalam bentuk penyembelihan hewan yang dagingnya dibagikan kepada pihakpihak yang berhak menerimanya. Dalam kurban, seseorang sejatinya tidak hanya tulus menyembelih hewan secara fisik, tapi juga menyembelih sifat-sifat hewani yang melekat pada diri para pelakunya. Sifat kebinatangan yang kerap muncul dalam bentuk penindasan hak-hak asasi terhadap sesamanya, misalnya, dapat saja muncul pada siapa pun. Tidak hanya pada penguasa yang dipandang memiliki potensi lebih besar menindas rak yat, tapi juga pada rakyat yang sering tidak sanggup mengendalikan kebebasan sehingga berakibat lahirnya penindasan pada kekuasaan. Secara historis, seperti tersirat dalam surah al-Kautsar, kurban diperintahkan untuk mensyukuri nikmat. Padahal, ketika wahyu ini diterima, Nabi Muhammad SAW tengah dalam keadaan duka. Caci maki dan tekanan fisik ataupun mental yang dilakukan orang-orang kafir Makkah saat itu datang bertubitubi. Pendeknya, Nabi beserta para sahabatnya selama tinggal di Makkah hampir tidak pernah
merasakan suasana aman dalam hidupnya. Bahkan puncaknya, Nabi mendapat ancaman untuk dihabisi, baik raga maupun nyawanya. Tapi, di tengah duka yang amat melukai Nabi beserta para sahabatnya itu, Allah justru memerintahkan untuk bersyukur atas nikmat-nikmat yang Allah limpahkan kepadanya seolah semua penderitaan itu adalah nikmat. Inilah suasana yang melatari turunnya tiga ayat Alquran yang kemudian menjadi salah satu surah, yaitu surah al-Kautsar. Ketika Nabi tengah terjepit di antara impitan caci maki dan ancaman, Allah mengata -
kan, “Sesungguhnya telah Aku berikan kepadamu nikmat yang amat banyak.” (QS al-Kautsar: 1).
Lalu, bagaimana cara mensyukuri nikmat? Dalam ayat berikutnya, secara berturut-turut Allah memerintahkan Nabi untuk mendirikan shalat dan berkurban (fashally lirabbika wanhar). Shalat dan kurban dalam ayat ini merupakan wujud syukur manusia atas nikmat Allah. Dalam shalat, kita bersyukur karena Allah telah menganugerahkan banyak nikmat. Sedangkan kurban, seperti
diilustrasikan dalam ayat di atas, merupakan simbolisasi rasa syukur dengan cara mengorbankan sebagian harta yang dimiliki untuk kemudian dibagikan sesuai ketentuan syariat. Dua ayat pertama dari surah al- Kautsar ini memberikan pelajaran bahwa di balik penderitaan sesungguhnya ada nikmat tersembunyi. Secara lahir kerap kita hanya memandang penderitaan tidak lebih dari cobaan atau bahkan siksaan. Padahal, ketika seseorang sanggup menghadapinya dengan tulus dan penuh kesabaran, sesungguhnya ada kekuatan amat besar yang sanggup mengubah derita menjadi nikmat. Kesabaran itu sendiri adalah nikmat yang belum tentu setiap orang sanggup menggapainya.
15112011
Solo,Gubuk Kecil
Ochad ZA, PRT
Ngemeng-ngemeng daging ini, sengaja penulis mengutip judul sepotong Syurga karena berkaitan dengan penyembelihan hewan ternak atau dalam orang Islam disebut dengan Qurban. Semua orang Islam tau bahwa sehari setelah para jemaah haji menjelankan rukun haji yaitu wuquf arofah , umat muslim di seluruh dunia, hanya yang islam KTP aja yang tidak tau mungkin bhwa besoknya adalah “yaumunnahri” hari makan sepuasnya dan selama hari tasyrik diharamkan berpuasa.
Idul adha atau hari raya qurban memiliki kajian ilmu yang tinggi secara tersirat maupun tersurat, memiliki makna imlplisit dan eksplisit (yang belum tau baca kamu bahasa jawa keraton). Salah satu hikmahnya adalah mendidik untuk bersyukur kepada Allah SWT. Lebih jelas dijabarkan oleh Prof Dr Asep S Muhtadi dalam Koran harian Islam Republika, bahwa dalam perspektif surah al-Kautsar, kurban merupakan salah satu ekspresi syukur. Seperti diisyaratkan ayat kedua surah tersebut, kurban disejajarkan dengan shalat yang dilakukan untuk mewujudkan rasa terima kasih manusia kepada Allah atas segala pemberian nikmat-Nya yang besar tak terhingga. Praktik kurban juga secara tersirat memperlihatkan sebuah pengorbanan sebagai ikrar pengabdian kepada-Nya. Sedangkan secara syariat, kurban itu diwujudkan dalam bentuk penyembelihan hewan yang dagingnya dibagikan kepada pihakpihak yang berhak menerimanya. Dalam kurban, seseorang sejatinya tidak hanya tulus menyembelih hewan secara fisik, tapi juga menyembelih sifat-sifat hewani yang melekat pada diri para pelakunya. Sifat kebinatangan yang kerap muncul dalam bentuk penindasan hak-hak asasi terhadap sesamanya, misalnya, dapat saja muncul pada siapa pun. Tidak hanya pada penguasa yang dipandang memiliki potensi lebih besar menindas rak yat, tapi juga pada rakyat yang sering tidak sanggup mengendalikan kebebasan sehingga berakibat lahirnya penindasan pada kekuasaan. Secara historis, seperti tersirat dalam surah al-Kautsar, kurban diperintahkan untuk mensyukuri nikmat. Padahal, ketika wahyu ini diterima, Nabi Muhammad SAW tengah dalam keadaan duka. Caci maki dan tekanan fisik ataupun mental yang dilakukan orang-orang kafir Makkah saat itu datang bertubitubi. Pendeknya, Nabi beserta para sahabatnya selama tinggal di Makkah hampir tidak pernah
merasakan suasana aman dalam hidupnya. Bahkan puncaknya, Nabi mendapat ancaman untuk dihabisi, baik raga maupun nyawanya. Tapi, di tengah duka yang amat melukai Nabi beserta para sahabatnya itu, Allah justru memerintahkan untuk bersyukur atas nikmat-nikmat yang Allah limpahkan kepadanya seolah semua penderitaan itu adalah nikmat. Inilah suasana yang melatari turunnya tiga ayat Alquran yang kemudian menjadi salah satu surah, yaitu surah al-Kautsar. Ketika Nabi tengah terjepit di antara impitan caci maki dan ancaman, Allah mengata -
kan, “Sesungguhnya telah Aku berikan kepadamu nikmat yang amat banyak.” (QS al-Kautsar: 1).
Lalu, bagaimana cara mensyukuri nikmat? Dalam ayat berikutnya, secara berturut-turut Allah memerintahkan Nabi untuk mendirikan shalat dan berkurban (fashally lirabbika wanhar). Shalat dan kurban dalam ayat ini merupakan wujud syukur manusia atas nikmat Allah. Dalam shalat, kita bersyukur karena Allah telah menganugerahkan banyak nikmat. Sedangkan kurban, seperti
diilustrasikan dalam ayat di atas, merupakan simbolisasi rasa syukur dengan cara mengorbankan sebagian harta yang dimiliki untuk kemudian dibagikan sesuai ketentuan syariat. Dua ayat pertama dari surah al- Kautsar ini memberikan pelajaran bahwa di balik penderitaan sesungguhnya ada nikmat tersembunyi. Secara lahir kerap kita hanya memandang penderitaan tidak lebih dari cobaan atau bahkan siksaan. Padahal, ketika seseorang sanggup menghadapinya dengan tulus dan penuh kesabaran, sesungguhnya ada kekuatan amat besar yang sanggup mengubah derita menjadi nikmat. Kesabaran itu sendiri adalah nikmat yang belum tentu setiap orang sanggup menggapainya.
15112011
Solo,Gubuk Kecil
Ochad ZA, PRT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar