Laman

Rabu, 30 Juli 2014

Kau elus dadamu, aku elus dadaku.


                 Sudah 3 hari lebaran berlalu begitu cepat, hari libur ini terasa berlalu bah diguyur dahsyatnya gelombang tsunami. Sekarang hari ke-4 lebaran. Seolah tak ingin hari terlewati begitu saja, kita semua tak ingin memejamkan mata. Mata ini masih ingin memandang senyum manis anak kecil, entah itu anak, cucu atau ponakan. Dan kita yang menjadi anak atau cucu juga tak ingin secepat kilat menangkap bayangan di retina mata kita, kulit orang tua kita yang mulai keriput dan kulit kakek nenek kita yang sudah keriput.  
            Orang tua yang akan selalu menanti lebaran tahun depan. Tahun depan yang belum tentu kita berhadapan dengannya. Mari nikmati hari libur ini dengan memanjakan diri bersama keluarga, kerabat dan sahabat.
            Fase pagi hari, periode memanjakan diri dengan secangkir kopi. Bersyukur kita yang masih bisa lebaran di rumah. Tidak terkecuali bagi mereka yang sedang mendekam di balik jeruji besi seperti para tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi. Media Indonesia hari ini 31 Juli 2014. “sebagai keluarga tahanan hanya bisa elus dada, banyak sabar”, ucap Sefti Sanustika, istri terpidana Ahmad Fatanah.
            Berawal dari statement Selfi itu lah tulisan ini hadir. Celoteh dari statement itu, seandainya ada jasa elus dada biar sabar, mungkin banyak yang ngantri jadi pengelus dada cewek-cewek cantik yang belum sabar biar sabar. Sabar identik dengan elus dada. Entah apa hubungannya sabar dengan dada. Tapi jangan pernah mencoba untuk mengelus dada cewek yang lagi berantem dengan maksud biar sabar, karena itu sabar berbuah tampar.
            Jadi seperti apa sabar itu, saudara kembar dengan ikhlas yang sulit didefinisakn. Tapi bisa dirasakan bagi pribadi yang sudah maqomnya. Dalam al-qur’an, kata “sabar”sendiri dihubungkan dengan kata “sholat”. yang insyaAllah artinya Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (QS.2.45).
            Ibadah bulan puasa telah berakhir yang mana kita penuh kesabaran dalam menjalankannya. Liburan pun akan berakhir, aktivitas dan rutinitas akan menjadi teratas dbawah nilai spiritualitas. Sabar dan Sholat yang akan menjadi penolong hari-hari kita semua ke depan.
Perintah dalam ayat di atas sekaligus merupakan solusi agar umat secara kolektif bisa mengatasi dengan baik segala kesulitan dan problematika yang datang silih berganti. Sehingga melalui ayat ini, Allah memerintahkan agar kita memohon pertolongan kepada-Nya dengan senantiasa mengedepankan sikap sabar dan menjaga shalat dengan istiqamah
Syekh Sa’id Hawa menjelaskan dalam tafsirnya, Asas fit Tafasir kenapa sabar dan shalat sangat tepat untuk dijadikan sarana meminta pertolongan kepada Allah Taala. Beliau mengungkapkan bahwa sabar dapat mendatangkan berbagai kebaikan, sedangkan shalat dapat mencegah dari berbagai perilaku keji dan munkar, disamping juga shalat dapat memberi ketenangan dan kedamaian hati. Keduanya (sabar dan shalat) digandengkan dalam kedua ayat tersebut dan tidak dipisahkan, karena sabar tidak sempurna tanpa shalat, demikian juga shalat tidak sempurna tanpa diiringi dengan kesabaran. Mengerjakan shalat dengan sempurna menuntut kesabaran dan kesabaran dapat terlihat dalam shalat seseorang.
            Mari kita bersama definisi sabar. Sabar bukan hanya mengelus dada, apalagi saling mengelus dada satu sama lain. Sabar ada di dalam hati, di dalam dada kita. Lapangkan dadamu tapi jangan terlalu lapang gak enak dipandang.
            Sekian, mohon maaf dan terimakasih.
            Selamat berlibur disisa hari libur semoga menjadi pelipur di hari ke depan yang jarang libur dan akan berhadapan lagi dengan kehidupan yang mulai ngawur, tetapi jangan keburu kabur ke alam kubur. Sabar ya Dur….

Salam Luwes
31 Juli 2014
H.Ochad ZA



           


Senin, 28 Juli 2014

Asmara Ketupat


                 Alhamdulillah, lebaran tahun ini resmi tanggal 28 Juli 2014, setelah mentri Agama membacakan hasil sidang Isbat Idul Fitri 1435 H. Saya sangat senang dong karena berakhir juga puasa tahun ini yang tidak genap 30 hari. Saya pribadi sangat bangga dan salut bagi umat Islam yang sanggup menjalankan puasa versi Islam. Mungkin dalam agama lain juga ada puasa dengan syarta dan ketentuan yang berlaku bagi agama sesuai agama masing-masing.
                Secara simbolis dari sudut pandang sosiologi budaya Indonesia, penghargaan atau reward bagi mereka yang telah menjalankan ibadah yang termasuk salah satu dari rukun Islam yang lima ini selama 30 hari hanya mendapatkan ketupat. Dan entah entah kenapa, secara kebetulan atau nggak istilah hari raya dalam dalam budaya orang Indonesia disebut dengan istilah “lebaran”. Yang mana istilah itu masih segaris lurus dengan ketupat.
                Kenapa ketupat? Kenapa tidak lontong atau lemper?.
                Dari segi bentuk, ketupat itu jajar genjang yang terdiri dari 4 sudut. Dan biasanya dalam membelah ketupat dibagi menjadi 4 bagian. Filosofi angka 4 ini sangat berkaitan dengan istilah “lebaran”. 
                Pertama, Labur. Manurut  KBBI, labur adalah kata dasar dari Melabur yang mempunyai arti menghias, merias. Aplikasi dalam agama Islam, sebelum Idul Fitri, kita menghias diri kita dengan ibadah puasa selama kurang lebih 30 hari. Selain itu juga kita menghias atau merias fisik kita dengan membeli pakaian baru. Dan selain itu juga kita ramai-ramai melabur rumah dan bahkan desa kita. Sedangkan yang para remaja-remaji juga ramai (baca:Cabe-cabean) saling menghias diri dengan maksud dan tujuan tertentu (baca:Modus).
                Kedua. Luber. Dengan kata lain penuh berlimpah. Atas kuasa illahi, umat Islam dapat rizki sehingga makanan dan minuman semuanya luber,duit juga luber. Dan semoga amal ibadah kita selama bulan ramadhan pun ikut luber. Tetapi yang sudah punya pasangan jangan ikut luber.
                Adapun yang ke tiga adalah lebaran. Yakni dibukanya pintu maaf lebar-lebar. Tidak hanya berlaku untuk yang berbuat salah tetapi juga kepada orang yang telah dizalimi. Sescara fisik, hal ini ditandai dengan dibukanya pintu rumah lebar-lebar pada saat Idul Fitri (Open House). Saling memberi senyum lebar, kantong lebar, hati lebar, perut lebar, dan jangan badan lebar aja.
                Dan ke empat adalah leburan. Maknanya dileburnya dosa-dosa manusia sebab saling memaafkan satu sama lain. Karena itu, menjadi wajar orang-orang rela mudik menempuh perjalanan jauh dengan taruhan nyawa. Semua itu dilakukan tidak lain adalah sebagai upaya untuk melebur segala dosa dan kesalahan, terutama kepada orang tua dan sanak family di kampung halaman, walaupun ga tau halaman ke berapa sampe berapa agar pada saat Iduul Fitri betul-betul kembali kepada kesucian sejati, seperti sucinya bayi yang baru dilahirkan.
                Mari kita nikmati nikmatnya ketupa lebaran, sambil kita rasakan dan hayati makna simbolis dan nilai ajaran agama, sosial dan busaya yang ada di dalamnya. Sembari terus memaafkan mereka yang melontarkan pertanyaan “kamu kapan menikah”, lebih dari 4 orang.
                Terimakasih, Mohon maaf lahir batin.
Salam Luwes
Guwa Kidul, 28 Juli 2014
H.Ochad ZA

Sabtu, 26 Juli 2014

Bawalaksana oleh Ono Sarwono

Bawalaksana
ONO SARWONO



PEMILIHAN presiden-wakil presiden usai. Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK), berdasarkan quick count mayoritas lembaga hitung cepat kredibel, unggul atas pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Bila real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diumumkan lusa (22/7) sama atau hampir sama dengan hitung cepat, Jokowi-JK menjadi presiden dan wakil presiden baru Indonesia. Pertanyaannya kini, apa yang mesti dilakukan pemimpin setelah mandat rakyat berada di pundaknya? Jika konsisten dengan janjinya, setelah resmi dilantik, tentunya mereka akan segera melaksanakan apa-apa yang telah terucap ketika berkampanye.
Penyakit umum yang sering menyerang kebatinan elite di negeri ini, entah itu memang sengaja atau tidak, adalah gampang alpa akan janji. Namun, kita semua berharap pemimpin baru kali ini imun. Jangan sampai rakyat bertindak untuk menagih. Pemimpin tulen, sebelum itu terjadi, mesti sudah melangkah karena pada hakikatnya janji itu bukan untuk orang lain, melainkan bagi dirinya sendiri.
Rakyat hanya bisa niteni (mencatat) sejauh mana tingkat dan kualitas integritas pemimpin. Bila sejati, tentu antara ati, lati, lan pakarti nyawiji. Artinya antara hati, yang diucapkan, dan tindakan selalu selaras. Maknanya, pemimpin tidak pernah lari dari apa yang ia sampaikan ke publik.
Dalam kearifan lokal kita, ada ajaran luhur sabda pandhita ratu tan kena wola wali. Artinya, seorang pemimpin itu tidak boleh mencla-mencle atau esuk tempe sore dhele. Istilah lainnya, tidak pernah cidra ing janji (mengingkari janji) walaupun untuk melaksanakannya kadang begitu berat rintangan dan sandungannya.
Masih ada petuah lain yang sepadan, pemimpin itu juga mesti berbudi bawalaksana. Berbudi adalah budi yang luber, artinya bermurah hati.
Bawalaksana berasal dari dua kata, bawa dan laksana. Bawa dari kata sabawa yang artinya berkata, sedangkan laksana dari kata lumaksana yang mengandung makna berjalan atau terlaksana.
Jadi, arti bebasnya, yang dikatakan terlaksana.
Bersumpah Dalam cerita wayang, ada contoh ekstrem tentang yang terucapkan benarbenar terlaksana.
Padahal, itu sangat tidak masuk akal. Itu karena kesatria yang melakukan memaknai bahwa kata yang telah diucapkan bukan sekadar janji, melainkan sumpah.
Dikisahkan, Raja Atasangin, Baratwaja, memanggil anak sulungnya, Bambang Kumbayana. Sang ayah meminta Kumbayana segera mencari pendamping karena tidak lama lagi akan diwisuda sebagai raja. Baratwaja bermaksud pensiun (turun takhta) dan ingin menajamkan laku prihatin guna menggayuh memanise pati.
Di luar dugaan, Kumbayana menolak desakan sang ayah. Ia malah berujar, dirinya tidak akan menikah bila tidak dengan bethari dari Kahyangan.
Setelah mendengar jawaban kementhus itu, Baratwaja marah. Ia menilai anaknya sudah melanggar angger-angger jagat.
Tidak sepantasnya titah sawantah, titah biasa, beristri bethari.
Sebelumnya, Baratwaja selalu memahami perilaku dan ucapan anaknya yang sejak kecil memang nakal. Namun, dengan keinginannya itu berarti ia jelas-jelas menampik perintah orangtua.
Karenanya, Baratwaja yang biasanya mampu mengendalikan emosi kali ini kehilangan kesabaran. Baratwaja mengusir Kumbayana dari istana.
Kumbayana tidak takut dengan sikap keras ayahnya. Ia kemudian meninggalkan istana tanpa pamit. Padahal, ketika itu ia belum memiliki tempat untuk dituju.
Sampailah ia di tengah hutan. Ketika sedang teperkur di bawah pohon maja, ia ingat saudara angkatnya, Sucitra. Menurut kabar, Sucitra telah menjadi raja di Pancala.
Maka, tidak berpikir panjang, Kumbayana ingin segera menemuinya.
Ia berjalan ke arah utara yang ia yakini sebagai wilayah Negara Pancala. Namun untuk sampai ke sana, Kumbayana terhalang lautan luas. Ia kebingungan bagaimana cara menaklukkannya.
Bethari Wilutama Ketika akalnya buntu, Kumbayana kemudian berjanji, “Siapa pun yang bisa menyeberangkan saya, bila ia laki-laki, akan saya jadikan saudara dekat. Bila perempuan, akan saya nikahi.“ Janji Kumbayana terdengar sampai Kahyangan Jonggring Saloka.
Maka, tidak lama kemudian, datanglah seekor kuda betina berbulu bersih dan mulus. Kuda itu lantas mendekati Kumbayana. Serta-merta, putra mahkota Atasangin itu bersiap diri jika kuda itu menyerangnya.
Akan tetapi, ternyata kuda tersebut lulut, bersahabat. Sambil menganggukanggukkan kepala dan mengibas-ibaskan ekornya, kuda itu berusaha menempel Kumbayana. Pada awalnya Kumbayana tidak mengerti pesan yang disampaikan. Tetapi setelah sejenak berpikir, akhirnya ia tahu bahwa kuda itulah yang akan menyeberangkannya. Kumbayana lantas melompat ke punggung kuda dan sejurus kemudian terbanglah mereka.
Singkat cerita, sampailah Kumbayana di tanah seberang. Namun setelah ia mengucapkan kata terima kasih, kuda itu menghalangi langkahnya. Itu terjadi berulang kali hingga akhirnya Kumbayana ingat akan janjinya.
Sungguh di luar nalar. Dikisahkan, Kumbayana akhirnya menikahi kuda tersebut hingga akhirnya bunting dan melahirkan anak. Anak laki-laki itu diberi nama Bambang Aswatama. Setelah itu, kuda berubah ke asal muasalnya, bidadari elite Kahyangan bernama Bethari Wilutama.
Betapa kagetnya Kumbayana. Ia tidak tahu bahwa kuda itu ternyata perwujudan bethari, yang selama ini ia cita-citakan untuk menjadi istrinya. Namun, ia kecewa karena Wilutama tidak bisa hidup bersamanya di arcapada dan harus kembali ke Kahyangan.
Dewa telah menguji keteguhan Kumbayana memegang janji. Ternyata, Kumbayana benar-benar melaksanakan apa yang telah diucapkan. Padahal, sungguh itu tidak masuk nalar.
Kisah Kumbayana itu hanyalah simbol belaka bahwa kesatria harus kukuh akan janjinya walau begitu sulit halangan dan rintangan. Siapa pun yang menepati janji, pada akhirnya akan datang berkah.
Inilah nilai yang perlu diteladani dari Kumbayana, terutama bagi pemimpin.
(M-3)

Idul Fitri dan Integritas Antikorupsi Sukron Kamil Guru besar UIN Jakarta Direktur Pusat Studi Indonesia dan Arab

SALAH satu isu yang kini menjadi perhatian pub lik yang harus menjadi agenda utama presiden terpilih dalam Pilpres 2014 ini ialah integritas. Asumsi tersebut bisa dilihat antara lain dari Peraturan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) Nomor 60 Tahun 2012 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) di Lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, integritas tampaknya bisa diharapkan untuk menjadi solusi dari kurang efektifnya pemberantasan korupsi selama ini, mengingat kini korupsi cenderung `mati satu tumbuh seribu'. Pendapat Prof Taverne agaknya membenarkan hal itu. Ia pernah berujar, “Berikan saya hakim dan jaksa yang baik, maka dengan undang-undang yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik.“
Baginya, kesemuanya, termasuk UU yang baik pun, pada akhirnya bergantung pada berintegritas atau tidaknya manusia, the man behind the gun.
Tentang integritas Dari berbagai literatur yang bisa dibaca, integritas bisa diukur dengan: 1) Keterikatan pada nilai-nilai perenial dan/kode etik organisasi, terutama pada kejujuran dan akuntabilitas (tidak korupsi), 2) Adanya sikap konsisten dalam melaksanakannya meski berisiko untuk dirinya atau keluarga karena didasari oleh ketulusan dalam menjalankan, 3) Tidak adanya kepribadian terbelah sehingga hati, kata, dan perbuatannya sama berkomitmen dan konsisten dengan nilai/kode etik, baik di ruang privat maupun publik, 4) Sikap yang komitmen dan konsisten terhadap nilai/kode etik itu ditegakkan di lingkungan kerja dan tempat tinggalnya, baik kepada sesama/teman yang sederajat maupun atasan (orang yang mempunyai kekuasaan), baik dengan teguran maupun tindakan nyata lainnya.
Dalam konteks korupsi, integritas berarti menghindari perbuatan bentuk korupsi apa pun, baik suap, penggelapan/ penggelembungan, pemerasan, nepotisme, kolusi, maupun hadiah (gratifikasi) yang dibarengi dengan menegakkan prinsip-prinsip antikorupsi, yaitu akuntabilitas, transparansi, keadilan, meritokrasi, kebijakan antikorupsi, dan kontrol kebijakan.
Idul Fitri dan integritas Kata `id dalam Idul Fitri yang berasal dari bahasa Arab terambil dari kata `âda-ya'ûdu, suatu kata yang sama artinya dengan kata tobat, yakni kembali. Hanya, jika tobat berarti kembalinya seseorang kepada Tuhannya, `id adalah kembali ke tempat atau pada keadaan semula. Artinya, sesuatu yang pada mulanya berada pada suatu keadaan, tetapi kemudian meninggalkannya, lalu kembali seperti semula. Dengan demikian, Idul Fitri bermakna kembali kepada fithr/fitrah (asal kejadian atau kesucian).
Dalam Alquran, asal kejadian atau fitrah manusia terbebas dari dosa, suci, dan berkecenderungan pada kebenaran. Namun, perjalanan dan hiruk pikuk kehidupannya acap kali membuat manusia tidak lagi demikian, melainkan penuh dosa dan tidak lagi suci karena terlalu mengikuti bisikan nafsunya. Idul Fitri menandai keberhasilan kaum muslimin dalam menambah kekuatan baterai rohaninya sehingga diharapkan bisa memanage/memimpin jasad/nafsunya, bukan sebaliknya.
Idul Fitri menunjukkan bahwa nafsu makan, minum, dan seks serta kesenangan jasmaniah lainnya ternyata bisa dikendalikan meski tuntutan jasmaniah acap kali kuat, bahkan sebagian manusia telah menjadikannya sebagai `tuhan'. Sebagian mereka, karenanya, telah menjadi budak nafsunya sendiri, jauh dari integritas, meski kadang tidak disadari. Dengan dipertajamnya rohani/nurani selama sebulan, dalam 11 bulan pasca-Idul Fitri manusia diharapkan mampu hidup mengikuti tuntutan nurani (dhamîr/fitrah manusia) yang selalu mengajak pada kesucian dan ketaatan ketika nurani menjadi pusat bagi dirinya.
Karena itu, Idul Fitri bisa diartikan menandai lahirnya manu sia-manusia muslim berintegritas yang dalam bahasa Alquran, manusia-manusia yang memiliki karakter takwa, seperti tercantum dalam QS al-Baqarah/2: 183.
Hal itu disebabkan lewat puasa selama sebulan penuh sebelum Idul Fitri, seorang manusia muslim berarti telah melakukan kontrak dengan Allah paling tidak 29/30 kali. Ia tidak akan makan, minum, dan me lakukan kegiatan seks se harian, tiga hal yang diha lal kan Allah di luar siang hari pada bulan Ramadan, kendati tidak ada orang lain yang melihatnya.
Ia berarti telah menjadi seseorang, yang dalam hadis Nabi disebut berkarakter ihsan, padanan takwa, merasa diawasi Allah, sehingga tindakannya dalam bekerja atau kehidupan lainnya sesuai dengan nilainilai ketuhanan. Lewat puasa yang dilakukan secara konsisten selama sebulan sebelum Idul Fitri, manusia muslim ditempa agar menjadi manusia yang bisa memiliki kepekaan dalam mendengar suara nurani dan rohaniah (nilai-nilai ketuhanan) dirinya. Ringkasnya menjadi seorang berintegritas seperti penjelasan di atas sehingga tidak menjadi manusia yang perilakunya seperti binatang yang tidak bermoral.
Idul Fitri menandai lahirnya manusia baru yang memiliki penghayatan yang sedalamdalamnya dan kesadaran yang setinggi-tingginya terhadap kehadiran Tuhan dalam hidup, dengan nilai puasa yang dilakukan selama sebulan sebelum Idul Fitri diukur oleh pencapaian kesadaran tersebut, bukan dari sisi lapar saja. Puasa bermaknakan kejujuran, satunya hati, kata, dan perbuatan, karena puasa mem bimbing manusia agar jujur kepada Al lah, dirinya sendiri, dan orang lain, siapa pun juga, ukuran utama integritas.
Dengan begitu, seorang yang berpuasa diharapkan tidak berdusta dan berkhianat (melakukan tindak penyelewengan terhadap jabatan misalnya). Tanpa itu, puasanya tidak sah dan tidak bermakna sebagaimana hadis Nabi riwayat Bukhari.
Sabda Nabi, “Barang siapa tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dosa (buruk), Allah tidak membutuhkan (puasa)nya di mana ia meninggalkan makan dan minum.“ Puasa dan Idul Fitri dalam hal ini menekankan tidak adanya kepribadian terbelah sehingga hati, kata, dan perbuatannya sama berkomitmen dan konsisten terikat oleh nilai-nilai, terutama kejujuran dan akuntabilitas, baik di ruang privat maupun publik.
Selain itu, puasa dan Idul Fitri menekankan sikap konsisten dalam melaksanakan atau terikat nilai-nilai meski berisiko untuk dirinya atau keluarga, karena didasari oleh ketulusan dalam menjalankan. Alasannya, karena puasa yang pada hari Idul Fitri berakhir sesungguhnya berisiko membuat sakit badan, terutama perut karena harus menahan lapar dan haus seharian di siang hari selama Ramadan. Ini berarti, kesulitan hidup karena menegakkan integritas dalam perspektif puasa dan Idul Fitri harus dipandang positif, mengingat antara kesuksesan dan penderitaan merupakan setali mata uang.
Tidak ada kesuksesan tanpa pengorbanan, penderitaan, dan penyangkalan atas berbagai kenikmatan. Namun, kesulitan badan dalam me negakkan integritas, seba gaimana sakitnya perut da lam berpuasa, menjadi tidak berarti jika tidak diawali dan disertai tekad sebagaimana puasa yang diawali dan disertai niat yang kuat. Niat yang kuat atau political will dalam menegakkan kebenaran seperti prinsip-prinsip antikorupsi memudahkan hati dalam menjalani proses-proses sulit dan berisiko untuk diri sendiri dan keluarga yang harus dijalani.
Sebagaimana puasa yang berakhir dengan magrib dan Idul Fitri, kesulitan/penderitaan dalam menegakkan integritas pasti pada saatnya berakhir manis, sebagaimana manisnya buka dan Idul Fitri, baik secara rohani maupun jasmani. Itu berarti juga integritas bukan saja kunci kesuksesan dan kebahagiaan hidup di akhirat saja, melainkan terutama di dunia, sebagaimana kenikmatan dunia/jasmaniah saat buka puasa dan Idul Fitri. Sabda Nabi dalam suatu hadis, “Baik dalam bakat adalah keuntungan, sedang buruk akhlak (tidak berintegritas) adalah kemalangan (sial).“ Dalam bisnis umpamanya, boleh jadi orang yang melakukannya dengan cara tidak berintegritas seperti tidak jujur akan beruntung, tetapi itu tidak akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Hal itu disebabkan para customer akan jera dengan kecurangannya dan itu berarti tergoda oleh keuntungan jangka pendek sebagai daya tarik dosa dan juga tidak bervisi masa depan. Berdasarkan penjelasan ini, teori integritas David Hume (17111776 M) dan Jeremy Bentham (1748-1832 M) tidak sepenuhnya bertentangan dengan Islam (puasa dan Idul Fitri). Teori itu melihat ukuran perbuatan baik (berintegritas) atau tidak adalah kebahagiaan atau penderitaan yang diakibatkannya.
Terakhir, puasa sebagai perilaku kolektif, ketika dalam sahur ada yang mengingatkan dan kebersamaan sebagaimana saat buka serta dalam puasa dan Idul Fitri ada keharusan zakat fitrah dan integritas (ketakwaan sebagai tujuan puasa dan Idul Fitri), tidak akan berhasil jika tidak menjadi perilaku kolektif.
Puasa dan Idul Fitri, karenanya, menekankan komitmen dan konsistensi terhadap nilai/kode etik yang harus ditegakkan di lingkungan kerja dan tempat tinggal, baik kepada sesama/ teman yang sederajat maupun atasan (orang yang mempunyai kekuasaan), baik dengan teguran maupun tindakan nyata lainnya.
Wallahu a'lam.

Jumat, 25 Juli 2014

AKURAPOSO.


            Sepi, sunyi dan senyap di desaku menjelang dan sesudah bulan ramadhan berjalan seminggu ini juga. Tak ada spanduk dari pemerintah desa atau dari MUI atau DKM setempat yang bertuliskan “Selamat Menjalankan Ibadah Puasa”.
            Tetapi tanpa ucapan itupun warga desa insyallah semangat menjalankan ibadah puasa dalam bulan suci ramadhan tahun ini. Spanduk itu tergantikan dengan baliho atau spanduk para capres dan cawapres. Karena kebetulan pada tanggal 9 Juli 2014 akan ada pemilu presiden berbarengan dengan puasa ramadhan.
            Ucapan itu tergantikan dan otomatis nongol di layar hp kita semua, dari status Facebook, Whatsapp, tweet di Tweeter atau dan DP di BBM. Mungkin juga Kuwu atau Ketua DKM mengucapkan melalui Broadcast Message.
            Broadcast message pun mengempur, tetapi tentang pilpres.  9 juli pun tiba, alhamdulillah, saya bagian dari panitia pilpres 2014. Bisa menjadi sebuah cerita untuk anak –anak nanti. Dan yang lebih bersyukur lagi ya dapat honor.
            “pak haji, Posisi?” sms Eko masuk ke layar lebar Duosku. Eko, salah satu panitia pilpres yang menjadi saksi salah satu capres dan cawapres.
            “otw TKP, bro”, balasku singkat.
            “Ko, gak enak banget yah pilpres pas puasa, gak bisa ngopi.”
            “Iyya pak haji, tapi gak papa juga si kalo mw ngopi”, hihi.
            “Ko, jalan-jalan dulu aja yuk sambil nunggu anggota lain datang.”
            “rebes, pak haji”.
“Eko….liat tuh kok ada warteg buka jam segini?”

Pak Haji : (tampang serem) "Woi! mana nih yang punya warteg??!!!"
Pemilik warteg : "Aa.. ada apa, Pak?"
Pak Haji : (membentak) "Bapak yang punya warteg ini?!!!"
Pemilik Warteg : "Ii..iya pak."
Pak Haji : "Ini kan bulan Ramadhan, bulan yang suci hormati dong orang yang lagi puasa, kalo jualan boleh aja tapi pake penutup tirai kek supaya gak keliatan."
Beberapa menit kemudian. Pemilik warteg memasang tirai penutup. Kemudian Eko masuk ke dalam Warteg.
Pak Haji: "Nah gitu dong, Pesen es Tehnya satu ya..."

Pemilik warteg : "???!!"
            Pak Haji …..kamu gak puasa kok gak ngajak saya?”
           
            Yang puasa hormati yang tidak puasa. karena yang puasa insyallah dihormati Tuhan.

Guwa Kidul, 25 Juli 2014
Salam Luwes
Ochad ZA

           
perempuan memasuki kecantikan yang baru di setiap tingkatan usianya. Kecantikan remaja berhubungan dengan kekencangan kulitnya, wanita dewasa berhubungan dengan kematangannya, dan wanita tua dengan kharismanya. Jadi akan selalu ditemukan kecantikan di setiap kerut dan helai uban perempuan yang akan disukai oleh kaum adam maupun kaum hawa.
"Jangan hanya menunggu fenomena besar. Tapi ingat juga fenomena-fenomena kecil di sekitar kita yang justru itu sangat penting."
"Lihat kampung kita! Banyak orang-orang yang kesulitan. Air bersih pun sulit. Bahkan anakmu saja sulit untuk mendapatkan air susu. Kenapa itu terjadi? Kita tengok kembali. Kampung kita ini dipimpin oleh orang-orang yang korup. Terlalu banyak ketidakjujuran terjadi di sini. Bahkan pembantu-pembantu kita pun demikian. Lihat masjid di kampung kita! Berapa banyak orang-orang yang sholat berjamaah di sana? Padahal dalam Islam sudah jelas, bila kita ingin melihat kualitas suatu umat, tengoklah bagaimana sholatnya."